SEPATU TINGKAT SATU
Anak kecil itu berlari...
bersemangat dan antusias..
walaupun tanpa alas kaki..
sakit kakinya ditahan, batu-batu kecil dan rumput liar menyangkut di telapak kakinya..
tapi dia tidak berhenti,
terus saja berlari..
berlari..
dan berlari..
Bayangan akan apa yang ada di depannya sangat jelas,
setiap detilnya dapat ia gambarkan..
setiap lekukannya, setiap elemen-elemen yang ada dan menyatukan semuanya menjadi satu kesatuan..
semua begitu indah..
begitu tidak bisa dipercaya,
tapi nyata..
ada di depannya..
hanya beberapa ratus meter lagi..
Pikirannya melayang saat dia melompat menyeberangi kali kecil itu..
dia tidak perlu melihat dimana dia akan mendarat, karena dia sudah terlalu hapal dengan jalan yang dia lalui,
jalan itulah yang terus dilaluinya setiap pagi,
setiap habis bangun pagi, mandi dan berganti pakaian..
setiap dia berangkat ke sekolah..
sekolah dimana ia bisa belajar,
sekolah yang telah diberikan kepadanya
melalui permintaan ayahnya ke kepala sekolah,
agar anaknya dapat belajar tanpa bayaran..
agar anaknya dapat memperoleh masa depan yang lebih baik darinya,
agar anaknya dapat belajar,
bertemu teman-temannya,
bertemu guru bahasa indonesia yang dia paling sukai..
guru yang paling menyayanginya.
Hampir saja dia tergelincir saat dia melewati persawahan kampungnya..
kakinya sudah mulai terasa sakit,
biasanya dia selalu berjalan pelan-pelan ke sekolah,
berhenti sejenak untuk mengambil batu-batu dan rumput yang menusuk telapak kakinya,
dan mungkin beristirahat sejenak di bawah pepohonan rimbun..
tapi sekarang, ia harus berlari cepat-cepat pulang..
tidak ada waktu untuk berhenti,
tidak ada waktu untuk beristirahat sejenak,
tidak ada waktu untuk memikirkan kakinya yang sakit..
ia harus pulang.
Sejenak ia memikirkan kembali bayangan itu..
sambil terus berlari,
ia berupaya menjauhkan pikiran dari rasa sakit kakinya..
ia membayangkan,
betapa bahagianya ia saat ini..
satu-satunya hal yang ia inginkan selama berbulan-bulan bisa terwujud..
saat ini, saat yang dijanjikan..
Akhirnya besok ia akan bisa menikmati semuanya,
semua impiannya, harapannya, keinginannya..
tak perlu lagi ia merasakan rasa itu,
rasa rendah dirinya dengan teman-temannya,
rasa malunya sewaktu ditertawai,
rasa bersalahnya terhadap gurunya yang selalu membelanya,
semua itu akan terbayarkan..
saat ini.
Hanya satu belokan lagi ia sampai ke rumahnya,
rumah yang telah ditempati keluarganya selama beberapa puluh tahun,
dari kakeknya sampai ke ayahnya,
rumah yang dibangun susah payah oleh kakeknya,
dari papan bekas, karton dan kertas koran..
dari barang bekas dan hasil pencarian di tempat sampah..
Dan..
rumahnya itupun mulai terlihat,
tersembunyi diantara beberapa puing-puing bangunan,
bentuknya yang kotak,
dengan tempelan kertas koran disana-sini,
karton sebagai jendela,
dan kain bekas sebagai pintunya..
dia berteriak dengan semangat,
"Bapak..!! Bapak..!!"
tidak ada jawaban..
"Bapak..!! saya sudah pulang..!!"
tetap tidak ada jawaban..
dengan rasa penasaran,
dia mulai melangkah pelan menuju rumahnya..
"Bapak seharusnya sudah pulang sekarang.."
benaknya berkata,
dan memang sore ini bapaknya menjanjikannya untuk pulang tepat waktu,
dan sang bapak tidak pernah mengingkari janjinya,
sesulit apapun itu..
sang bapak bilang akan pulang ke rumah sebelum gelap..
pulang membawa hadiah,
hadiah yang dijanjikan sebulan yang lalu..
Seiring suara-suara tangisan yang terdengar dari dalam rumahnya,
rasa cemas menjalar di sekujur tubuh sang anak,
mengapa? ada apa? kenapa?
benaknya terus bertanya-tanya..
Tangisan itu pun terdengar lebih keras dari dekat...
siapa? dimana? kapan? baaimana?
jantungnya terus menerus berdegup kencang..
"Ba..pak.."suaranya mulai mengecil,
mungkin karena cemas dan gugup..
"..a..da di da..lam..?"
dengan terbata-bata dia mulai mendekat ke pintu..
Tapi hanya tangisan itu yang terdengar,
Dia menjulurkan tangannya,
membuka kain penutup pintu..
sedikit demi sedikit dia melongok ke dalam..
dan ia melihat..
Tergeletak di lantai rumah itu,
sepasang sepatu..
warna hitam..
tidak begitu bagus,
tidak baru,
sepatu bekas itu merupakan barang mahal,
bisa dilihat dari warna keemasan pada keseluruhan sepatu itu,
dengan sabuk pengikat yang menonjol pada bagian atasnya,
gambar bunga kelopak dengan warna emas di sisinya,
semua itu benar-benar merupakan ciri barang mahal baginya..
Sedetik itu terasa lama baginya,
seakan dia bisa mengamati setiap inci sepatu itu..
bagaimana karet sol berwarna putih itu mengelilingi sepatu,
dengan jahitan yang terlihat sangat rapi dan teliti..
"Pasti buatan pabrik..",
pikiran itu yang terlintas di kepalanya saat mengamati jahitan-jahitan itu..
dengan tali yang tertata rapi,
yang masih terlihat sangat bersih..
Semuanya memberikan kesan bahwa,
sang pemilik sepatu adalah seseorang yang sangat memperhatikan kebersihan..
sampai noda sekecil apapun tidak ada di bagian atas sepatu itu..
hanya sedikit kotoran yang memberikan ungkapan..
sedikit pasir pada bagian bawah sepatu itulah yang menunjukkan bahwa sepatu itu telah dipakai oleh seseorang..
tapi secara keseluruhan, sepatu itu sempurna..
itu adalah benda terbaik yang akan dimiliki sang anak..
untuk selamanya.. atau setidaknya akan dia sayangi sepenuhnya..
Sedetik pun berlalu,
masih dengan rasa senangnya melihat hadiah yang dijanjikan bapaknya itu,
hadiah yang membuatnya lupa akan kecemasannya saat ini,
hadiah yang menghilangkan rasa penasaran akan tangisan dalam rumahnya,
dan masih dengan rasa kebahagiaan yang sangat akan hadiah itu,
ia menengok ke sebelah sepatu itu..
Terlihat sesosok tubuh lelaki dewasa,
sedang meringkuk di atas kursi..
kepalanya ditundukkan ke meja,
dengan tangannya melipat..
Sosok itu terkesan begitu sedih..
terisak-isak dengan sangat,
tampaknya ia tidak akan memperhatikan apapun saat ini..
bahkan jika dunia berguncang,
sosok itu akan terus menangis di meja..
menangisa dan tersedu-sedu..
"Ba..pak.. ?",
sahut sang anak..
tapi sosok itu tidak menjawab,
"Bap..ak ken..apa ?",
tanya sang anak..
tapi sosok itu tetap tidak bergeming..
masih terus tenggelam dalam kesedihannya..
Sang anak pun mendekat,
tangannya menyentuh punggung sang bapak..
sekali lagi dia bertanya,
"Bapak kenapa menangis ?",
sambil mengusap punggung sang bapak..
"Tolong bicara pak.. saya takut..",
tetap tidak ada jawaban..
akhirnya dengan mengumpulkan keberanian,
sang anak pun memeluk bapaknya,
"Bapak.. ayo dong ngomong.. ada apa Pak?",
Terasa olehnya sosok itu bergerak,
mengangkat wajahnya..
tampak raut muka yang penuh kekecewaan..
wajah yang sangat dipenuhi penyesalan,
wajah yang terluka oleh kesedihan..
"Ada apa Pak ?",
tanya sang anak kembali..
Sosok itu pun perlahan mengerakkan bibirnya,
ia menjawab dengan pelan'
"Bapak berdosa Nak.. Bapak sungguh berdosa..",
Dengan rasa heran, sang anak pun bertanya lagi,
"Kenapa Pak ?",
ia mencoba untuk memberikan raut muka yang mendukung,
agar sang bapak mau terus bercerita..
Sang bapak pun bangkit berrdiri,
mendudukan anaknya ke kursi,
sementara ia menjauh dari meja itu..
Ia melangkah menuju ke lemari kayu,
lemari yang sudah terlihat lapuk dan kotor..
ia membuka pintu dari triplek bekas yang menutupi lemari itu,
mengambil sebuah teko dari dalamnya dengan tangan kanannya,
sementara tangan kirinya meraih gelas plastik di samping teko itu..
setelah ia minum dan menaruh teko dan gelas kembali ke tempatnya,
ia bergerak kembali ke arah anaknya..
"Begini Nak..",
ia mulai bercerita..
mula-mula sang anak agak bingung dengan cerita bapaknya,
bagaimana akhirnya bapaknya bisa menganggap dirinya berdosa..
ia tidak mengerti separuh cerita itu,
karena bapaknya bercerita dengan perumpamaan-perumpamaan yang aneh..
tentang perasaan yang menyelimuti sang bapak saat kejadian itu,
tentang bagaimana seseorang bisa menginginkan sesuatu dengan sangat..
tentang bagaiman perjuangan sang bapak selama ini..
Setelah mencapai akhir ceritanya,
barulah sang anak mengerti,
dan ia pun memahami sekarang..
mengapa bapaknya mengatakan apa yang dikatakan sebelumnya..
saat ia bertanya kepada bapaknya yang menangis..
Tanpa bisa menjawab atau memberi komentar kepada bapaknya,
ia pun perlahan berdiri..
mendongak melihat ke atap jerami rumahnya..
seakan memikirkan sesuatu secara mendalam..
Sejenak sang anak terhening,
dengan lamunan pikirannya,
melayang kepada beberapa bayangan,
gambaran akan masa depannya..
Kemudian dia kembali melihat wajah sang bapak,
raut muka yang terlihat sangat murung..
dia mengamati wajah itu,
dengan perasaan campur aduk di dalam dadanya..
Sementara sang bapak masih tertegun..
keheranan melihat anaknya yang tidak berkomentar apapun saat ini,
bertanya-tanya apa yang ada di benak anaknya,
waktu tatapan mereka saling bertemu..
Sesaat keheningan merajai ruangan itu,
ruangan yang tampak begitu penuh sesak,
dengan kasur di lantai,
meja dan kursi serta lemari butut,
perapian kayu bakar di pojokan ruangan..
serta seonggok kayu bakar yang terikat di samping perapian itu..
"Saya akan menunggu Bapak..",
jawab sang anak..
"..sampai kapan pun, walau bagaimana pun, saya akan terus mendukung Bapak",
"Bapak adalah orang yang paling bijak yang saya tahu..
dan saya akan terus berjuang untuk masa depan kita nantinya"
Jawaban itulah yang didengar sang bapak..
jawaban itu merupakan hasil pemikiran anaknya yang tulus,
anak yang telah ia didik dengan susah payah selama ini..
walau dengan hambatan-hambatan dan kesulitan,
baik dari segi ekonomi, pendidikan, norma dan agama..
tapi benar-benar dilakukannya dengan semampunya..
Jawaban itulah yang membuat sang bapak terharu,
walau dengan sedikit rasa sedih dan tersedak,
takut akan apa yang akan terjadi..
tapi dia tahu..
sang anak akan menunggunya.. sampai kapan pun.
Jawaban itulah yang membuatnya mengemasi barang-barangnya,
bersama dengan anaknya,
berjalan menjauhi rumah,
bergandengan tangan dengan anaknya..
dengan buntalan kain berisi baju-baju di tangan kanannya,
dan remasan keras gandengan tangan sang anak di kirinya..
Jawaban itulah yang terus menerus terngiang di kepalanya dalam perjalanan itu,
perjalanan yang terasa jauh dan menyesakkan,
penuh dengan kesedihan dan putus asa..
Jawaban itulah yang membuatnya memasuki kantor polisi setempat,
bersama dengan anaknya,
keberaniannya, nalurinya, dan nuraninya..
mengakui semua perbuatannya,
menjelaskan kepada para petugas disana,
bahwa ia telah bersalah..
Dan jawaban itulah yang membuatnya mendekam di penjara,
selama lima belas tahun,
atas perbuatan yang ia sesali,
atas kesalahan terbesar yang pernah dan akan ia lakukan dalam hidupnya,
atas pembunuhan tingkat satu terhadap seseorang,
seorang anak kecil..
pemilik sepatu itu..
sepatu yang tak mampu ia beli, walau sekeras apapun usahanya..
sepatu yang membuatnya lupa diri untuk memilikinya..
sepatu yang dijanjikan untuk sang anak..

Adidas Stan Smith (Comfort Pack)
"The things you would do for your love ones.."
Comments
Post a Comment