BRUTALITY IN SOCIAL MEDIA

Setelah di tulisan sebelumnya gw membahas mengenai salah satu hal negatif dari perkembangan sosial media di jaman ini (Kata Orang Selingkuh Itu..), sekarang gw mau membahas satu hal negatif lain yang kita dapatkan dari merangseknya sosial media dalam kehidupan kita.


Bukannya menjelek-jelekan sosial media, tapi gw tuh orang tahun 80an yang mengawali masa muda gw dengan bersosialisasi secara 'normal' (bertatap muka dan bersentuhan). Senang, muka merah, tersipu-sipu, marah, caci maki di depan muka lengkap dengan ludah-ludah yang bertebaran. Pukul langsung di tempat atau janjian untuk berkelahi di halaman belakang sekolah - yang biasanya cuma berlangsung dalam satu-dua pukulan. Maklum, saking emosinya udah ga bisa mukul atau melihat jelas.. Penglihatan udah kabur gara-gara mata berair antara nangis dan marah...
Ngga seperti saat ini dimana hubungan dengan sahabat ataupun kekasih bisa dilangsungkan tanpa melalui tatap muka, tanpa mendengar suara secara langsung, ataupun tanpa melihat mimik wajah lawan sosialisasi kita.


Padahal menurut gw mimik wajah itu adalah salah satu aspek penting dalam bersosialisasi. Karena dari situlah kita mengetahui alur sosialisasi kita sudah baik (menarik) atau tidak untuk lawan sosialisasi kita.
Bos gw yang setengah gipsy - setengah pedanda (bule Perancis keturunan Spanyol dan sudah mendalami Hindu setelah lama tinggal di Bali, Indonesia) pun sama halnya seperti gw.
Dia lebih suka berbicara langsung dengan klien-kliennya, tidak melalui facetime / skype, etc.
Menurutnya hal-hal yang penting secara humanis justru hilang dengan adanya percakapan melalui sosial media. Apalagi kalau sampai bermusuhan karena hal-hal yang 'diucapkan' dalam sosial media.


Banyak hal buruk yang gw alami dalam berkomunikasi di sosial media, dan seringkali orang yang kita kenal baik, menjadi judes atau kasar dalam sosial media.
Gw heran, padahal kalau bertemu secara langsung tidak terlihat akan kejudesannya itu. Mungkin beda apa yang dirasakan untuk berbicara langsung dengan menatap wajah lawan bicaranya.



Gw sendiri pun pernah melakukan ke-brutal-an dalam sosial media, dengan update status dan comment-comment yang tidak menghargai orang dan bahkan menyinggung atau menyakiti perasaan orang lain.
Terus terang hal itu gw lakukan dengan emosi tinggi. Padahal biasanya kalau gw ada masalah dengan orang, gw coba mendinginkan kepala gw dulu, dan baru berhadapan untuk membicarakan permasalahannya setelah pikiran tenang ga emosi jiwa.

Menurut gw, sosial media itu menjadi sebuah tameng - topeng secara tepatnya - bagi orang yang ingin melakukan hal-hal lain yang diluar pribadi aslinya.
Pribadi asli..?
Ini juga sebuah pertanyaan besar sih, karena kepribadian seseorang itu sebenarnya juga bukan benar-benar asli dirinya yang mau diungkapkan.
Tapi lebih ke pribadi yang terbentuk dari lingkungan hidupnya dari kecil hingga dewasa.
Aslinya ?
Aslinya kita semua makhluk hidup.
Memang kita memiliki pikiran yang jauh lebih maju dari makhluk hidup lainnya, tapi bukan berarti kita tidak memiliki aspek-aspek lain dari sebuah makhluk hidup.
Seperti naluri / insting. Ini adalah salah satu aspek penting dari kehidupan sebuah makhluk hidup.
Walaupun pribadi kita terbentuk karena lingkungan kita, namun satu hal yang pasti, naluri / insting kita untuk bertahan hidup pasti tetap ada dan tak akan bisa dihilangkan.


Orang yang sudah sangat putus asa pun, sewaktu memutuskan untuk bunuh diri, masih ragu dalam mengambil keputusan final.
Segimana pun logika sudah memutuskan bahwa jalan keluar terbaik adalah dengan mengambil nyawanya sendiri - demi dirinya atau orang lain. Pasti dalam tahap-tahap akhirnya nalurinya tetap bertahan dan mencoba mengalihkan logikanya untuk berpikir ulang. Ataupun naluri survival cuma membuatnya berpikir mengambil jalan terenak dan ga sakit untuk mengambil nyawanya. Takut akan rasa sakit misalnya.
Kalau begini, sakitnya lama, kemungkinan bisa jadi cacat permanen malah. Terus kalau begono, jadi cepet dan ga sakit tapi... *tapi itulah yang lama-lama menyelamatkan dan membuatnya ga jadi bunuh diri*



Jadi, biar bagaimana pun kita meninggikan diri kita sendiri di alam semesta ini. Kita hanya seorang MAKHLUK HIDUP.
Lengkap dengan naluri / insting seperti semua makhluk hidup lainnya.
Maka dari itu ke'asli'an kita sebagai manusia berakhlak memang patut dipertanyakan.

Nah, kembali ke topik. Sosial media sebagai topeng kita.
Sudah mulai paham kan bagaimana ke'asli'an kita menipu pemikiran kita mengenai diri kita sendiri.
Disinilah 'topeng' tersebut bisa dilihat.

Sebagai makhluk berinsting (yang kadang liar), kita kadang suka mengeluarkan ke'asli'an kita dalam ketidak sengajaan di kehidupan kita.
Hal itu menjadi sebuah penyesalan bagi kita di kemudian harinya, karena kita akan bertemu dengan orang tersebut dan pasti ada rasa tidak enak.


Di sosial media, caci maki dan kata-kata kasar bisa dengan gampangnya dilontarkan tanpa melihat ekspresi orang yang telah kita kasari.
Dengan kata lain - kita mudah melukai orang tanpa konsekuensinya.
Padahal konsekuensi minimalnya adalah melihat mimik wajah orang yang telah kita kasari - sedih / marah / tersinggung. Itu saja sudah bisa membuat kita menyesali perbuatan kita.
Tanpa adanya konsekuensi sama sekali, bayangkan betapa 'nikmat'nya kita melakukan perbuatan tanpa penyesalan sama sekali.
Suatu kebebasan yang sangat sempurna. 
Kebebasan yang seringkali disalah gunakan.
Hati-hati jaga komunikasi anda kepada orang lain.
Mulutmu harimaumu.. atau disini bisa dibilang bahwa jempolmu harimaumu !







Comments

Popular posts from this blog

Penyesalan itu datang di akhir, kalau di awal itu Pendaftaran

AIR MATA BUAYA

BUCKET LIST