PELARIAN


If I could escape 

I would, but first of all let me say 
I must apologize for acting, stinking, treating you this way
Cause I've been acting like sour milk that fell on the floor 
It's your fault you didn't shut the refrigerator 
Maybe that's the reason I've been acting so cold 

If I could escape 
And recreate a place as my own world 
And I could be your favorite girl 
Forever, perfectly together 
Tell me, boy, now wouldn't that be sweet? 

If I could be sweet 
I know I've been a real bad girl 
I didn't mean for you to get hurt 
(Forever) We can make it better 
Tell me, boy, now wouldn't that be sweet? 
(Sweet escape)




Sweet Escape.. setiap orang ingin melakukan pelarian, apalagi pelarian yang indah. Sama seperti lirik lagu Gwen Stefani di atas, kalau kita bisa lari dari hidup kita yang (kebanyakan) rusak ini, maka itu akan menjadi hal yang sangat indah.

Terus terang, pertama kali gw datang ke Bali ini juga merupakan sebuah pelarian. Bukan karena masalah keluarga, hidup gw di Jakarta sebenarnya enak koq. Gw bukan berasal dari keluarga broken home. Bokap gw orang yang paling jarang marah, walaupun sekalinya marah besar sama gw gara-gara ngabur pas hari sekolah nyusul pacar gw waktu sma yang saat itu sudah kuliah di Bandung - tapi almarhum tidak menggunakan kekerasan fisik, dan memang tidak pernah (sepanjang ingetan gw, ngga tau deh kalau masih bayi sering dipukulin pantatnya gara-gara gemes).
Nyokap gw juga orang yang diplomatis, karena beliau berasal dari keluarga besar. Menjadi kakak untuk ke delapan saudara-saudarinya, dan sudah ditinggal pergi Kakek gw sewaktu masih di kuliah kedokteran. Jadi dia harus menjadi pemimpin bagi adik-adiknya.

Keluarga gw juga berkecukupan, bahagia, dan mampu menyekolahkan anak-anaknya, sampai bisa kuliah di kampus yang cukup terkenal di Jakarta, bahkan gw pun mau dikuliahkan di kampus yang uang masuknya waktu itu cukup mahal, beda banget sama pilihan gw pada akhirnya - universitas negeri yang uang masuknya hanya 10% dari uang masuk kuliah di Jakarta itu (ini pembenaran gw saat pelarian, bahwa gw membantu ortu gw dengan memilih uang masuk yang lebih sedikit. Tapi yaa pembenaran tetap pembenaran - tidak 100% benar).

Gw juga pelajar yang "cukup" pintar, selalu masuk ke kelas "pintar" di sekolah - walaupun kelakuannya sangat tidak menunjukkan hal itu (banyak cerita kenakalan saat sekolah dulu yang gw sesalin.. eh ngga juga deh, kenangan itu yang paling gw ingat sampai sekarang. Yang pasti orang tua gw yang menyesal kenapa punya anak sebandel itu sampe dipanggil-panggil menghadap kepala sekolah). Gw pun mendapat beasiswa di beberapa kampus, yang ternyata uang masuk setelah dipotong beasiswa itu pun tetap lebih besar dari uang masuk universitas negeri yang akhirnya gw pilih (lagi-lagi pembenaran - kenapa gw ngga milih beasiswa aja).

Kehidupan sosial gw pun enak di sana. Banyak teman yang bisa diajak nongkrong, ada kegiatan sepulang sekolah (yaa nongkrong itu.. hahaha). Ikut tim voli sekolah, osis, hang out sama geng mobil teman-teman gw yang gila, nonton bioskop sama cewe-cewe yang naksir gw tapi gw jadiin friendzone aja (jangan ketawa - ciyuss nih, gini-gini dulu sempat banyak laku juga) dan berbagai kegiatan lain yang kurang pantas dibicarakan disini karena begitu memalukannya sampai-sampai gw memilih untuk menghipnotis diri sendiri untuk tidak mengingatnya. Bahkan gw sempat aktif jadi pelayan Tuhan di gereja gw, berbekal dari kedekatan keluarga gw dengan pihak gereja (percaya ngga percaya deh.. tanya Tuhan aja kalau ngga percaya - absensi gw ada sama Dia koq).

Lalu permasalahannya dimana? sampai jauh sekali melarikan diri ke tempat yang berjarak 24 jam dari asal gw? (waktu itu pesawat masih mahal, jadi lebih sering naik bis kalau pulang kampung ke Jakarta).

Everybody past a certain age, regardless of how they look on the outside, pretty much constantly dreams of being able to escape from their lives. Doug Coupland 

Seperti yang telah diramalkan oleh dukun gw (Bokap), bahwa kelemahan gw itu adalah wanita. Iya, wanita, bukan cewek atau gadis atau bahkan perempuan. Wanita. Perempuan dewasa yang mampu menjadi seseorang yang tangguh di saat gw membutuhkan dan menjadi seseorang yang manja di saat gw mau memanjakannya.
Bukan seseorang yang manis, imut, lucu tapi bersikap seperti anak kecil terus menerus. Banyak yang naksir gw yang seperti itu, dan nyata-nyatanya mereka semua gw masukin ke dalam friendzone gw (gaya dikitlah.. untuk mengurangi tingkat kemirisan masa-masa jomblo saat ini). Dan cewek-cewek seperti itu bukanlah seseorang yang mampu membuat gw bertekuk lutut di hadapannya.

Wanita, yang dewasa dalam berpikir dan bertindak, tanpa menghilangkan rasa kebutuhannya akan perhatian seorang laki-laki dewasa. Dan gw telah menemukan seorang wanita dalam sebuah bentuk yang sangat indah (saat itu - mungkin sekarang pun masih, gw harap suaminya bisa bersyukur atas apa yang telah didapatnya - a beautiful woman).
Bokap gw pun tahu akan hal ini, makanya dia seringkali menasehati gw untuk berpikir dua kali sebelum bertindak dalam wacana hubungan gw dengan pacar gw waktu itu.

Banyak sekali hal-hal yang melanggar aturan rumah gw dan rumah pacar gw yang gw telah langgar dalam hubungan gw itu. Dan gw ngga perduli setan sama sekali, karena rasa cinta gw yang begitu besar sama dia waktu itu. Bolos sekolah hal yang biasa, apalagi setelah pacar gw (yang 2 tahun lebih tua dari gw) lulus duluan dan kuliah di Bandung. Sampai-sampai bertemu dengan kepala sekolah gw sewaktu kita berjalan-jalan ke BIP di hari sekolah. Nah lho.. dua-duanya kaget kan? sama-sama bolos nih murid dan kepala sekolahnya.. X_x


Masalahnya bermula sebenarnya sejak pacaran LDR (Long Distance Relationship - pacaran jarak jauh) ini dimulai, ketika pacar gw waktu itu lulus duluan dan memilih kuliah di Bandung. Bayangkan saja, dari yang (hampir) setiap hari bertemu, mesra-mesraan, apalagi rumahnya sering sepi siang sampai sore karena orang tuanya jaga toko (nah.. nah.. pada mulai piktor deh). Sampai akhirnya yang hanya bisa berhubungan melalui media telepon rumah (yang tagihannya membengkak karena pulsa interlokal), wartel  (jaman itu handphone masih barang mahal dan pulsanya selangit bo', Bokap ngga pernah ngasih gw pakai punyanya dia lagi setelah bayar tagihan lebih dari 1,5 juta) dan warnet yang masih jarang saat itu.

Kalaupun sudah tidak tahan untuk bertemu, hanya bisa dilakukan hari minggu saat sekolah libur. Dan itupun harus berbohong ke Bokap Nyokap, karena Bandung itu jauh. Harus naik kereta 3 jam lebih, tidak seperti sekarang dengan mudahnya bisa naik mobil pulang-pergi lewat tol Padalarang.
Kereta terakhir pun jadwalnya hanya sampai sore, tidak ada lagi di atas jam 5. Jadi pertemuan demi pertemuan akan menjadi sangat singkat karena keterbatasan waktu dalam satu hari. Waktu itu sangat tidak boleh menginap di Bandung, karena orang tua gw tahu dimana gw bakal menginap dan itu TER-LA-LU (haram hukumnya inget kata-kata bang Rhoma).


Akhirnya, karena keterbatasan-keterbatasan itu (walaupun sering bolos dan pergi ke Bandung pas hari sekolah demi menemuinya) menjadikan cinta diantara gw dan pacar gw memudar. Awalnya gw tidak begitu menyadari, tetapi lama kelamaan mulainya sering terjadi pertengkaran. Mulai dari "Kamu dimana sih tadi? kan janjinya gw telepon jam segitu. Ini jadi nyolong-nyolong telepon rumah untuk nelepon kamu. Besok kena omel lagi deh gw", sampai "Kamu kok ngga datang sih tadi, aku tungguin kamu lho dari tadi di stasiun" "Maaf sayang, tadi ke-gep sama Nenek gw sewaktu gw di stasiun. Dia pasti bilang Nyokap kalau gw bener-bener pergi ke Bandung, jadi gw pulang ama dia aja deh bilang sekolah diliburin". Akhirnya pertengkaran itu meningkat dan ketidak adaan gw disana, akhirnya membuat dia mencari kasih sayang dan perhatian seorang laki-laki lain. Selingkuh maksudnya.

Hal itu juga gw ketahui dengan sangat tiba-tiba, di hari yang spesial. Hari Valentine. Dimana gw dengan susah payah mengirimkan hadiah Valentine dengan kartu ucapan yang romantis dan puisi cinta yang gw tulis sendiri, dihias dengan pernak-pernik lucu, gambar-gambar hati, ciuman dan lain sebagainya (idiiiihhhh sok romantis puitis buanget sih loooee dulu? hueeekkss - dan sampai sekarang pun masih sok romantis *gubrak*).
Setelah mengirimkan hadiah Valentine itu tepat dua hari sebelumnya, dengan tujuan dia menerima hadiah itu pas di hari Valentine, gw pun menunggu dengan hati berdebar hari Valentine itu.

Sebenarnya ada kejadian yang kurang mengenakkan beberapa hari sebelumnya, gw dan pacar gw bertengkar lewat telepon, mulai dari wartel, sampai akhirnya dilanjutkan di telepon rumah (nyolong-nyolong lagi). Dan tidak terselesaikan malam itu juga, karena Nenek gw tiba-tiba keluar kamar dan mendapati gw sedang jongkok di bawah meja telepon gelap-gelapan sambil berteriak dalam bisikan.
Makanya gw mau memberikan hadiah spesial untuk pacar gw di hari spesial itu sebagai tanda berbaikan dan meminta maaf.

Pas hari H-nya tiba, gw dengan antusias menunggu dekat telepon sampai kira-kira jam 10 pagi (waktu itu kalau ngga salah gw bilang ga mau sekolah  - kayaknya sih Nyokap Bokap gw tau itu cuma alasan biar gw bisa telepon pacar gw. Seperti yang gw bilang, ortu gw tu asik orangnya, walaupun anaknya kurang ajar begini. Atau mungkin karena itu hari minggu yaa? *dodol*). Kenapa jam 10 pagi? karena biasanya surat atau kiriman ke rumah gw juga sampainya jam 9-an, jadi jam 10 dia sudah buka kiriman dari gw dong? great timing.
Pas jam 10, gw telepon. Kringgggg... kringggg... "Halo Bu, si anu ada?" "Bentar yaa de'.." "Ooo ngga ada de', sepertinya sudah pergi dari pagi".
Aneh. Padahal itu hari minggu, dan tidak mungkin ada kuliah hari minggu. Gereja pun dia biasanya sore. Dan menurut orang tuanya dia tidak ada rencana pulang ke Jakarta hari itu.
Akhirnya gw coba lagi telepon jam 12, jam 2, jam 4, sampai akhirnya malam pun baru bisa berbicara sama dia.

Dia bilang tadi dia pergi dengan teman-temannya, dan gw merasa ada nada yang tidak tenang dalam pembicaraannya. Gw pun mulai merasa curiga, dan pertengkaran dimulai kembali. Akhirnya dia mengakui kalau tadi dia jalan sama "cowok"-nya. DHUAAAARRR.. kayak geledek di siang hari.. eh, udah malem deh waktu itu. Dia bilang alasannya karena dia mengira sudah putus sejak pertengkaran beberapa hari kemarin (padahal seingat gw tidak ada kata putus terucap). Gw sampai sekarang lupa apa jawaban gw waktu itu di telepon, apa gw jelasin sama dia kalau gw masih cinta? apa gw berusaha memenangkan hatinya lagi? atau apa gw dengan kesalnya marah sama dia sehingga kata-kata kekecewaan karena selingkuh itu keluar? tapi yang gw ingat itu pelampiasan gw setelah menutup telepon, pergi ke kamar mandi, dan mandi dengan amarah dan kekesalan yang sangat - sampai langit-langit kamar mandi pun ikut basah (Nyokap gw sampe nanya setelah gw keluar dari kamar mandi "Kamu mandi atau ngecat sih di dalam tadi? masa sampai atepnya ikutan basah?").

Berbagai macam perasaan waktu itu gw rasain, dari sakit hati, kekecewaan, kemarahan, kesedihan, sampai penyesalan. Tapi yang pasti malam itu gw tidak bisa tidur nyenyak, begitu juga malam-malam setelahnya.

Setelah beberapa hari, perasaan gw mulai bisa gw kontrol, mulailah gw mencoba menghubungi dia kembali. Kita pun berbicara tenang, dan dia menjelaskan apa yang terjadi. Ternyata dia sudah pacaran sama cowok ini cukup lama. Bahkan ketika gw masih sering datang menemuinya di Bandung.
Dia bilang dia menyesal, dan gw pun bilang memaafkannya - walaupun sakit rasanya. Tapi dia memutuskan untuk benar-benar putus dengan gw, dan meneruskan hubungannya dengan pacar barunya itu. Dan gw pun terpuruk.

Satu kejadian ini benar-benar mengubah hidup gw. Dalam tahun terakhir masa sekolah gw, gw benar-benar bertekad untuk bisa masuk kuliah di kampus mantan gw itu. Dan 2 bulan lebih gw habiskan di Bandung setelah kelulusan untuk ikut dalam pelatihan, dan pendaftaran di kampus itu. Tinggal bersama saudara gw, dan kadang menginap di kos teman, bahkan saat-saat terakhir pernah (mencoba) menginap di kos mantan gw dengan harapan bisa balikan.
Saat dia benar-benar menolak untuk balikan lagi sama gw, gw merasa sudah habis harapan gw untuk kuliah disitu. Walaupun beberapa hari kemudian mendapat pengumuman bahwa gw diterima di kampus itu, gw sudah tahu pilihan gw adalah menolak untuk kuliah di sana (sempat sih senang karena keterima, dan berteriak keliling kampus naik motor bersama teman gw waktu itu "Woooooiiii gw masuk kampus ini nih..!! Gw keterima di sini woooii..!!" - kayak orang gila - hampir dikejar-kejar satpam).

Jadi, gw pulang ke Jakarta. Membawa hasil yang bagus untuk orang tua gw, diterima di kampus yang cukup terkenal di Bandung - tapi ngga mau kuliah di sana.
Akhirnya, gw memilih kampus negeri di Bali yang gw dapat dari ujian saringan nasional waktu itu. Biar jauh dan bisa melupakan mantan gw. Tapi alasan yang gw bilang ke ortu gw sih biar gw bisa bantu mereka meringankan biaya kuliah. Padahal ortu gw sudah tahu alasannya mengapa, dan mereka pun sampai mengiming-imingi gw mobil untuk tetap kuliah di Jakarta atau Bandung. Tapi gw ngga mau. Sakit hati.

Kemudian, dari kabar yang gw ketahui pun, teman gw yang waktu pengumuman diterima di kampus Bandung itu pun tidak jadi mengambil kuliah di sana. Kabarnya karena dia juga putus cinta. Belum gw ketahui kabar selanjutnya dia bagaimana, katanya dia jauh lebih terpuruk dari gw. Gw harap sih dia baik-baik saja. Karena move on dari putus cinta itu memang sangat berat, tapi pasti bisa kita lalui. Seberat apapun.
Bro, asli inget banget gw kita kayak orang gila waktu itu... thanks for the great memories.. hahaha..

Kembali ke topik pelarian, gw akhirnya "mendarat" dan menetap di Bali  karena pelarian gw dari putus cinta. Dan memang dengan jarangnya gw pulang ke Jakarta dan lingkungan yang baru, segala kesedihan itu dengan mudahnya dapat terobati. Walaupun kadangkala masih tersisa, seperti saat gw salah memanggil pacar gw setelah itu dengan nama mantan gw - FATAL akibatnya. Tapi sedikit banyak, dengan pelarian ini gw bisa menciptakan suasana baru yang benar-benar berbeda dari kehidupan gw di Jakarta yang saat-saat terakhirnya diwarnai dengan sakit hati.

Pelarian itu memang menjadi seperti kesempatan kedua untuk gw memulai lagi hidup gw seperti orang baru. Tidak terasa adanya hal-hal yang mengingatkan gw akan kehidupan gw yang lama di Jakarta. Dan gw sangat bersyukur gw bisa mendapat kesempatan kedua dalam menjalani hidup ini. Karena kesempatan kedua itu sangat langka.
Kehidupan gw di Bali, walaupun diawali dengan pelarian, tapi bisa mendewasakan gw. Membuat gw lebih memahami diri gw sendiri. Dan pastinya mebuat gw bisa mengatur hidup gw ke arah yang gw mau. Bukan menjadi salah satu tipe orang yang mempunyai cap "mantannya si anu", atau "korban selingkuhan" atau "korban LDR". Karena tidak ada suasana yang mengingatkan gw akan hal itu.

You cannot escape the responsibility of tomorrow by evading it today. 
Abraham Lincoln 

Tapi bukan berarti permasalahan yang kita tinggalkan itu akan begitu saja lenyap. Dan gw benar-benar mengalami hal ini.
Setelah beberapa tahun gw kuliah, saat gw pulang kampung ke Jakarta. Gw mendapati bahwa mantan gw mencoba menghubungi gw kembali. Dan bukan itu saja, bahkan orang tuanya pun menghubungi orang tua gw dan menanyakan mengenai kabar gw.
Ujung-ujungnya ketika gw dengan mencoba bersikap dewasa menemui mantan gw, dia minta balikan *jreng jreng*.

Gw pun berusaha berbicara panjang lebar dengan dia, menanyakan keadaannya. Dia bercerita bagaimana ternyata dia menyadari bahwa apa yang dia perbuat itu adalah kesalahan, dan cowok pilihannya itu akhirnya menyakitinya. Dia mulai menyadari bahwa cinta gw itu dulu tulus sama dia, dan dia mau mendapatkan cinta gw kembali. Dia bilang orang tuanya pun menasehatinya bahwa gw sebenarnya adalah calon yang baik untuk dia. Dan itu membuat dia memutuskan bahwa kalau gw menerima dia kembali, dia akan serius dengan gw dan berusaha membahagiakan gw sebagaimana gw membahagiakan dia dulu sewaktu masih jadian.

Gw pun menjawab, bahwa gw benar-benar tersanjung atas anggapan dia dan keluarganya mengenai gw. Tapi itu semua sudah terlambat. Gw sudah melanjutkan hidup gw tanpa dia. Dan gw harap dia bisa melanjutkan hidupnya juga, tanpa gw. Sebagaimana setengah hati gw ini masih ada sama dia, dan gw rasa tidak mungkin bisa mengembalikan hati gw jadi utuh lagi. Tapi jalan kita sudah berbeda. Dan sudah saatnya dia mencari orang lain yang bisa membahagiakan dia, mungkin lebih dari gw membahagiakan dia dulu. Gw yakin orang seperti itu ada, dan orang itu pasti bisa dia temukan.
Dengan berlinang air mata, akhirnya kita berpisah malam itu - untuk selamanya.

Pelarian gw ke Bali itulah yang bisa membuat gw menjawab dengan dewasa seperti itu. Pelarian yang mengajarkan gw bahwa dunia ini luas, dan masih banyak petualangan-petualangan lain yang bisa kita raih sepanjang hidup kita. Banyak orang-orang yang bisa kita temui, dan banyak kesempatan-kesempatan lain untuk kita memperbaiki hidup kita.
Pelarian itu sebenarnya sesuatu yang kurang bagus untuk dilakukan, tetapi dalam setiap hal yang kita lakukan kita dapat mempelajari banyak hal lain. Dan pelajaran hidup itulah yang membangun pribadi dan karakter kita. Sehingga kita dapat dengan baiknya menghadapi masalah-masalah yang membuat kita lari pada awalnya.

Pelarian itu salah satu pendewasaan diri yang mampu mengubah jalan pikiran kita menjadi lebih berkembang dari sebelumnya. Dan gw berterima kasih kepada dunia yang memberikan kesempatan gw untuk berkembang, walaupun dengan cara pelarian.


**maaf kemarin ada salah sedikit dari ceritanya, gw baru inget kejadian traumatis itu terjadi di hari Valentine, makanya sampe sekarang gw ga pernah ngerayain Valentine.. dan Natal.. dan Paskah.. dan ulang tahun Nyokap.. tapi itu lain cerita deh. Next time bray.

Comments

Popular posts from this blog

Penyesalan itu datang di akhir, kalau di awal itu Pendaftaran

AIR MATA BUAYA

BUCKET LIST