DECISIONS AFTER 2 AM
The decisions we make after 2 am are the wrong decisions.
Setiap keputusan yang kita ambil
setelah jam 2 pagi (AM) - kemungkinan
besar - merupakan keputusan yang salah.
Pernyataan ini gw dapat
(lagi-lagi) lewat film – tepatnya serial tv. Karena gw adalah salah satu
penganut paham filmnisme atau paham yang mengambil filsafat-filsafat hidup
melalui film-film yang ditonton. Sesungguhnya, film itu adalah cerminan hidup
manusia yang diceritakan dari berbagai sudut dan pandangan, dengan bumbu-bumbu
yang menarik sehingga menjadikannya suatu kesatuan cerita yang utuh. Tetapi
intinya, film itu merupakan cerita hidup manusia – well, kecuali film mengenai binatang-binatang yaa.. seperti yang
ibu warung tempat gw ngutang dulu sering tonton.
Nah, kembali ke falsafah mengenai
keputusan yang salah itu. Semua keputusan yang kita buat di atas jam 2 pagi
kemungkinan besar salah. Mengapa? Karena di saat jam 2 pagi, tubuh kita sudah
tidak bekerja dengan normal, otak kita sudah kekurangan oksigen yang disuplai
dari jantung, karena gerakan pompa jantung sudah mulai melemah – akibat dari
kelelahan yang didapatkan oleh tubuh dalam beraktifitas sepanjang hari.
Jadi dengan kurangnya daya
konsentrasi otak untuk berpikir jelas, maka keputusan yang kita ambil akan
merupakan keputusan yang tidak dipikirkan secara matang. Dengan kata lain
keputusan yang tergesa-gesa. Biasanya keputusan yang dibuat dengan tergesa-gesa
ini merupakan keputusan yang salah, karena tidak memikirkan berbagai macam hal
yang berkaitan dengan hasil keputusan kita tersebut.
Biasanya. Tetapi ada pula otak
manusia yang mempunyai kemampuan lebih dari normal, sehingga dalam keadaan lemah
pun dia mampu menghasilkan keputusan yang baik dan bisa dipertanggung jawabkan.
Tetapi hal ini sangat jarang terjadi. Ayolah, coba ingat-ingat, apakah ada
keputusan yang pernah kita buat setelah jam 2 pagi itu bagus?
Sebagai contoh (contoh saja yaa, bukan berarti ini yang
terjadi sama gw.. walaupun ini kemungkinan besar memang terjadi sama gw..
hahaha), kalau kita lagi clubbing,
dan sudah lewat jam 2 pagi, kemungkinan besar otak kita sudah dipengaruhi alkohol.
Jadi keputusan kita untuk terus lanjut atau pulang mengendarai kendaraan
ataupun berantem sama orang yang barusan dorong-dorong kita di lantai dansa pun
kemungkinan besar akan berakibat buruk.
Atau apabila kita sedang
bertengkar dengan pacar di telepon. Yang awalnya mesra-mesraan membahas
nostalgia masa lalu yang indah, “Sayang,
inget ngga waktu itu pas hujan-hujanan kita ngapain?” “Hmm, ngapain yaa sayang?” “Kita
payung-payungan bertiga sama si Amang pergi ke pasar” (maklum, cowonya dulu
tukang topeng monyet keliling) kemudian menjadi ucapan “Selamat bobo Sayang”, lalu menjadi “Kamu dong yang matiin duluan”, dan akhirnya setelah ngga tutup-tutup telepon sampai lewat
jam 2 pagi, maka percakapannya berubah menjadi “Udah dong sayang, besok aku mesti bangun pagi nih, tutup yaa teleponnya.
Kamu ngga ngertiin aku banget sih?” atau “Kamu yang tadi nyuruh tutup telepon, yaa aku kira kamu mau
udahan ngobrolnya. Kok jadi marah gitu
sih?”. Ini akibat dari kelelahan otak dalam berpikir untuk mengambil
keputusan, bahkan dalam hal sekecil ini pun, memutuskan apa yang dibicarakan.
Jaman dahulu, hampir tidak ada
keputusan yang dibuat setelah lewat jam 2 pagi (kecuali Nenek gw yang
memutuskan pergi ke pasar jam 4 pagi agar mendapat sayuran yang paling segar –
ini pun salah, karena tukang sayurnya baru datang jam 5 pagi dan Nenek gw
terpaksa nongkrong di pasar 1 jam nungguin
tu tukang sayur). Keputusan semua dibuat dalam jam aktifitas keseharian
kita, sebelum tidur dan sesudah bangun, untuk yang salah jam tidurnya, gw bilangin yaa, menurut penelitian,
tidur itu harusnya jam 9 malam dan bangun jam 5 pagi (8 jam tidur minimal –
optimalnya di 10 jam, badan akan benar-benar melakukan metabolisme sempurna).
Apalagi ketika kita ingin
memutuskan sesuatu hal yang penting dalam hidup kita. Jangan dilakukan jam 2
pagi. Bayangkan kalau anak kita tau bahwa ia terlahir karena suatu keputusan
buruk bapaknya yang melakukan serangan fajar ke ibunya di atas jam 2 pagi dengan
tujuan agar sang ibu lengah karena kecapaian padahal sang ibu merasa belum
cukup keadaan ekonominya untuk mempunyai anak, jadi selama ini ibunya mengontrol
agar tidak kebobolan (sekali lagi ini
bukan pengalaman pribadi gw yaa.. atau mungkin juga sih? Ngga tau deh, cuma almarhum
Bokap, Nyokap dan Tuhan yang tau kapan dan dimana gw dibuat – berdasarkan keputusan
yang baik atau tidak).
Atau ketika kita memutuskan untuk
mengakhiri kisah cinta kalian karena tidak bisa tidur semalaman memikirkan
kejadian tadi malam dimana kita memergoki sang kekasih sedang makan malam
romantis dengan Oom-oom. Sehingga jam 2 pagi mencoba telepon tidak diangkat-angkat, jadi berkicau lewat akun twitter mention
sang pacar bahwa hubungan kalian sudah putus, dan kemudian dilanjutkan dengan
kicauan-kicauan cacian, makian dan hinaan terhadap hubungan kalian selama ini.
Padahal besok paginya sang kekasih membalas “Itu Bokap gw tolooooolllll”. Nasi sudah menjadi bubur.. eh, salah..
nasi sudah menjadi tai (kata salah
seorang ayah teman gw yang sangat marah dulu karena kelakuan anaknya). Kalau
bubur masih bisa dimakan, tapi kalau sudah menjadi... ? ayoo, siapa yang mau
makan? Orang gila pun ogah.
Inti dari pernyataan di atas itu
sebenarnya bukan dinilai dari jam ketika kita mengambil keputusan, tetapi dari
kondisi fisik kita ketika itu. Dengan kondisi yang tidak optimal, bagaimana
bisa kita mengambil keputusan yang optimal? Maka dari itu, kalau mau mengambil
keputusan, apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak (uda kayak anggota dpr aja yaa?), cobalah
jangan dilakukan tergesa-gesa, dibawa tidur dulu, dipikir-pikir panjang dulu,
ditelaah sebab dan akibatnya keputusan itu dibuat. Maka niscaya keputusan itu
akan merupakan keputusan yang baik dan benar-benar dapat dipertanggung
jawabkan.
"When it is not necessary to make a decision, it is necessary not
to make a decision." - Lord
Falkland
"When you have to make a choice and don't make it, that is in
itself a choice." - William
James (1842 - 1910)
Comments
Post a Comment